BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kasus pra rumah sakit,
penanganan pasien dilakukan setelah pengkajian lokasi kejadian dilakukan.
Apabila pengkajian awal lokasi kejadian tidak dilakukan maka akan membahayakan
jiwa paramedik dan orang lain di sekitarnya sehingga jumlah korban akan
meningkat.
Dalam kasus ini, kematian
muncul akibat tiga hal: mati sesaat setelah kejadian, kematian akibat
perdarahan atau kerusakan organ vital, dan kematian akibat komplikasi dan
kegagalan fungsi organ-organ vital
Kematian mungkin
terjadi dalam hitungan detik pada saat kejadian, biasanya akibat cedera kepala
hebat, cedera jantung atau cedera aortik. Kematian akibat hal ini tidak dapat
dicegah.
Kematian berikutnya mungkin muncul sekitar sejam atau dua jam sesudah
trauma. Kematian pada fase ini biasanya diakibatkan oleh hematoma subdural atau
epidural, hemo atau pneumothorak, robeknya organ-organ tubuh atau kehilangan
darah. Kematian akibat cedera-cedera tersebut dapat dicegah. Periode ini
disebut sebagai ‘golden hour’ dimana tindakan yang segera dan tepat dapat
menyelamatkan nyawa korban.
Yang ketiga dapat terjadi
beberapa hari setelah kejadian dan biasanya diaklibatkan oleh sepsis atau
kegagalan multi-organ. Tindakan tepat dan segera untuk mengatasi syok
dan hipoksemia selama ‘golden hour’ dapat mengurangi resiko kematian ini.
Dalam menangani kasus ini, meskipun dituntut untuk bekerja secara cepat
dan tepat, paramedik harus tetap mengutamakan keselamatan dirintya sebagai
prioritas utama sebelum menyentuh pasien. Pasien ditangani setelah lokasi
kejadian sudah benar-benar aman untuk tindakan pertolongan.
B.
Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum
Terciptanya pengetahuan
mahasiswa mengenai segala hal yang berkaitan dengan konsep gawat darurat pada
Trauma Leher dan Tulang belakang
2. Tujuan Instruksional Khusus
- Mahasiswa mampu mengenali dan menyebutkan berbagai tanda dan macam-macam klasifikasi dalam Trauma Leher dan Tulang belakang
- Mahasiswa dapat membuat tindakan perawatan dalam mengatasi atau memecahkan masalah Trauma Leher dan Tulang belakang
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian
Tulang Belakang (vertebrae)
adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke selangkangan. Tulang
vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale
merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum
membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas
vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian
syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan
mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
Cidera tulang belakang adalah
cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari
ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb yang dapat
menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga
mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).
- Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang
akibat jatuh dari ketinggian
3. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang
kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah
vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak
kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya
tulang.
(Harsono, 2000).
- Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami
gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll)
atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari
ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi
traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan
dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat
menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek.
Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang
belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada
tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada
waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara
mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat
mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari
tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama
pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat
bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula
spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis),
tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah
berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah.
Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya
dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah
tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis
merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena
tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang
(fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen
yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran
transversa).hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk
lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu
jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar
eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena
dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis
vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis
dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan
oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna
vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis
akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi
dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan
mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami
hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang
bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia
radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang
belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah
radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang
akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
- Manifestasi Klinis
Gambaran klinik tergantung
pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan meningitis;lintang
memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari
tempat kerusakan disertai shock spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan
mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari
pusat .peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih
lama.tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya
fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia
dan hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi
terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak
berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan
gangguan defekasi (Price &Wilson (1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).
Cedera sumsum belakang sentral
jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah
servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang
terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat
terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi
gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang
sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese
parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas
sedangkan daerah perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998).
Kerusaka tulang belakang
setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan
fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa
(Aston. J.N, 1998).
- Pemeriksaan Penunjang
Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis
cedera tulang (fraktur atau dislok)
CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
(Tucker,Susan Martin . 1998)
CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
(Tucker,Susan Martin . 1998)
- Penatalaksanaan Medis
Pembagian trauma atau fraktur tulang belakang
secara umum:
1.
Fraktur
Stabil
a. Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
b. Burst fraktur
c. Extension
a. Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
b. Burst fraktur
c. Extension
2.
Fraktur
tak stabil
a. Dislokasi
b. Fraktur dislokasi
c. Shearing fraktur
a. Dislokasi
b. Fraktur dislokasi
c. Shearing fraktur
Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma
kompresi axial pada waktu tulang belakang tegak. Menurut percobaan beban
seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2 dapat mengakibatkan fraktur tulang
belakang. Daerah yang paling sering kena adalah daerah yang mobil yaitu VC4.6 dan
Th12-Lt-2.
Perawatan:
Perawatan:
1. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis)
maka dengan istirahat saja penderita akan sembuh.
2. Fraktur dengan kelainan neorologis.
Fase Akut (0-6 minggu)
a. Live saving dan kontrol vital sign
b. Perawatan trauma penyerta
• Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
• Perawatan trauma lainnya.
c. Fraktur/Lesi pada vertebrata
Fase Akut (0-6 minggu)
a. Live saving dan kontrol vital sign
b. Perawatan trauma penyerta
• Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
• Perawatan trauma lainnya.
c. Fraktur/Lesi pada vertebrata
1. Konservatif (postural reduction) (reposisi
sendiri)
Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus, terutama simple kompressi.
Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus, terutama simple kompressi.
2. Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:
- Laminektomi: mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:
- Laminektomi: mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada
kanalis spinalis, menghilangkan kompresi
medulla dan radiks.
- fiksasi interna dengan kawat atau plate
- fiksasi interna dengan kawat atau plate
- anterior
fusion atau post spinal fusion
3. Perawatan status urologi
Pada status urologis dinilai
tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek bladder) dan infra nuklear
(paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian
secepatnya dilakukan bladder training dengan cara penderita disuruh minum
segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400 cc.
Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek
detrusor dapat kembali.
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
b) Manuver
crede
c)
Ransangan sensorik dan bagian dalam paha
d)
Gravitasi/ mengubah posisi
4) Perawatan
dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini
sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya vaskularisasi didaerah
tersebut.
1. Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan
Neorologis
Penderita dengan diagnose
cervical sprain derajat I dan II yang sering karena “wishplash Injury” yang
dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan pemasangan culiur
brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post trauma dibuat foto
untuk melihat adanya chronik instability
Kriteria radiologis untuk melihat adanya
instability adalah:
1) Dislokasi feset >50%
2) Loss of paralelisine dan feset.
3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
5) Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
1) Dislokasi feset >50%
2) Loss of paralelisine dan feset.
3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
5) Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
Pada dasarnya bila terdapat
dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed reduction dengan atau tanpa
anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada kontrol dan otot leher.
Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah mengembalikan keposisi
anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan spinal cord.
2. Penanganan Cedera dengan Gangguan
Neorologis
Patah tulang belakang dengan
gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk
memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera diimobilisasikan.
Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48
jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis
karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak
stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula
spinalis.
- Pembagian Trauma Vertebra
1. BEATSON (1963) membedakan atas 4 grade:
o
Grade
I = Simple Compression Fraktur
o
Grade
II = Unilateral Fraktur Dislocation
o
Grade
III = Bilateral Fraktur Dislocation
o
Grade
IV = Rotational Fraktur Dislocation
2. BEDBROCK membagi atas:
o
Trauma
pada vertebra seperti compression, extension dan flexion rotation injury
o
Trauma
medula spinalis seperti : comotio, con-tusio, stretching, gangguan vaskuler,
trombus dan hematoma
3. E. SHANNON STAUPER membagi:
o
Extension
injury
o
simple
flexion injury dan
o
flexion
compression fraktur dislocation.
4. HOLDS WORTH membagi alas taruma: Fleksi,
rotasi fleksi, rotasi, ektensi, kompressi vertikal (direct shearing force)
5. Pembagian Umum:
- Fraktur Stabil
o
Fraktur
wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
o
Burst
fraktur
o
Extension
- Fraktur tak stabil
o
Dislokasi
o
Fraktur
dislokasi
o
Shearing
fraktur
Fraktur tulang belakang
terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu tulang belakang tegak. Menurut
percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2 dapat mengakibatkan fraktur
tulang belakang. Daerah yang paling sering kena adalah daerah yang mobil yaitu
VC4.6 dan Th12-Lt-2.
- Komplikasi (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan
kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan
darah dalam jumlah besar akibat trauma.
2. Mal union, gerakan ujung patahan akibat
imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah
infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya
ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit
gerakan (non union).
3. Non union adalah jika tulang tidak
menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang
memadai.
4. Delayed union adalah penyembuhan fraktur
yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati
intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman
pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh
pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak
masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan
kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli
yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru,
ginjal, dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat
perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan
jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani
segera.
- Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan trauma tulang
belakang meliputi:
a. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot
terjadi kelemahan selama syok spinal
b. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat
melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
c. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan
berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik hilang
d. Integritas ego : menyangkal, tidak
percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan menarik diri
e. Pola makan : mengalami distensi perut,
peristaltik usus hilang
f. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan
dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar
pada lengan atau kaki, paralisis flasid,
Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosi
Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosi
h. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot,
hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan
Mengalami deformitas pada daerah trauma
Mengalami deformitas pada daerah trauma
i.
Pernapasan
: napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j.
Keamanan
: suhu yang naik turun
(Carpenito (2000), Doenges at al (2000))
- Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1.
Pola
napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
o
Tujuan
perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
o
Kriteria
hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < 45, rr = 16-20 x/mt, tanda
sianosis –
o
Intervensi
keperawatan :
a. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala
tanpa gerak.
Rasional : pasien dengan
cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/
mempertahankan jalan nafas.
b. Lakukan penghisapan lendir bila perlu,
catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret.
Rasional : jika batuk tidak
efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi
resiko infeksi pernapasan.
c. Kaji fungsi pernapasan.
Rasional : trauma pada C5-6
menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot pernapasan
mengalami kelumpuhan.
d. Auskultasi suara napas.
Rasional : hipoventilasi
biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.
e. Observasi warna kulit.
Rasional : menggambarkan
adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera
f. Kaji distensi perut dan spasme otot.
Rasional : kelainan penuh pada
perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma
g. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000
cc/hari.
Rasional : membantu
mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran.
h. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume
tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional : menentukan fungsi otot-otot
pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan
pernapasan.
i.
Pantau
analisa gas darah.
Rasional : untuk mengetahui
adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2
rendah dan PaCO2 meningkat.
j.
Berikan
oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan
isufisiensi pernapasan.
k. Lakukan fisioterapi nafas.
Rasional :
mencegah sekret tertahan
2.
Diagnosa
keperawatan : kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan
o
Tujuan
perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai
cedera diatasi dengan pembedahan.
o
Kriteria
hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu
beraktifitas kembali secara bertahap.
o
Intervensi
keperawatan :
a. Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
b. Instruksikan pasien untuk memanggil bila
minta pertolongan. Rasional memberikan rasa aman
c. Lakukan log rolling. Rasional : membantu
ROM secara pasif
d. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap
papan kaki. Rasional mencegah footdrop
e. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log
rolling. Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik
f. Inspeksi kulit setiap hari. Rasional :
gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas
kulit.
g. Berikan relaksan otot sesuai pesanan
seperti diazepam. Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang
berhubungan dengan spastisitas.
3.
Diagnosa
keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera
o
Tujuan
keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan
o
Kriteria
hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang
o
Intervensi
keperawatan :
a. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5.
Rasional :
pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.
b. Bantu pasien dalam identifikasi faktor
pencetus.
Rasional : nyeri dipengaruhi
oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih dan berbaring lama.
c. Berikan tindakan kenyamanan.
Rasional : memberikan rasa
nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri.
d. Dorong pasien menggunakan tehnik
relaksasi.
Rasional :
memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
e. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan.
Rasional : untuk menghilangkan
nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan istirahat.
4.
Diagnosa
keperawatan : gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan
persarafan pada usus dan rektum.
o
Tujuan
perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi
o
Kriteria
hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
o
Intervensi
keperawatan :
a. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan
karakteristiknya.
Rasional :
bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.
b. Observasi adanya distensi perut.
c. Catat adanya keluhan mual dan ingin
muntah, pasang NGT.
Rasional : pendarahan
gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.
d. Berikan diet seimbang TKTP cair :
meningkatkan konsistensi feces
e. Berikan obat pencahar sesuai pesanan.
Rasional:
merangsang kerja usus
5.
Diagnosa
keperawatan : perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan
syarat perkemihan.
o
Tujuan
perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan
o
Kriteria
hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada
o
Intervensi
keperawatan:
a. Kaji pola berkemih, dan catat produksi
urine tiap jam.
Rasional :
mengetahui fungsi ginjal
b. Palpasi kemungkinan adanya distensi
kandung kemih.
c. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.
Rasional :
membantu mempertahankan fungsi ginjal.
d. Pasang dower kateter.
Rasional
membantu proses pengeluaran urine
6.
Diagnosa
keperawatan : gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
o
Tujuan
keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan
o
Kriteria
hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering
o
Intervensi
keperawatan :
a. Inspeksi seluruh lapisan kulit.
Rasional :
kulit cenderung rusak karena perubahan sirkulasi perifer.
b. Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan:
untuk mengurangi penekanan kulit
c. Bersihkan dan keringkan kulit
Rasional:
meningkatkan integritas kulit
d. Jagalah tenun tetap kering
Rasional:
mengurangi resiko kelembaban kulit
e. Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan
Rasional : meningkatkan
sirkulasi sistemik dan perifer dan menurunkan tekanan pada kulit serta
mengurangi kerusakan kulit.
DAFTAR PUSTAKA
Hudak and
Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott
company, Philadelpia.
Marilynn E
Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan,
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu
Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth
Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition,
JB Lippincott Company, Philadelphia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar